Rubrik Power of Mind Radar Bali : Stress Language untuk Memperbaiki Hubungan

2 -stres language untuk memperbaiki hubungan  -  Rubrik Power of Mind - Santy Sastra - Radar Bali - Jawa Pos - Santy Sastra Public Speakingh


Rubrik Power of Mind Radar Bali : Stress Language untuk Memperbaiki Hubungan

Edisi Minggu, 9 Juni 2024


Ditulis Oleh :

Santy Sastra (@santysastra)

Putu Suprapti Santy Sastra, SH., CHt., CI

Indonesia's Mindset Motivator


STRESS language adalah cara untuk menggambarkan pikiran dan perasaan saat menghadapi stres. Konsep stress language diciptakan oleh pakar kesehatan Chantal Donnelly, sebagai cara untuk mengeksplorasi kecenderungan bawaan atau pola perilaku pasangan  ketika mereka berada dalam kesusahan atau kewalahan.

Lima stress language ala Donnelly  untuk mengetahui bahasa  pasangan dapat membantu hubungan.

The Exploder, adalah respons stres yang terlihat secara lahiriah yang bisa terlihat seperti rasa kesal, frustrasi, kemarahan, atau agresi. Orang yang meledak-ledak cenderung menuding orang lain atas kesusahan mereka.

Stress language inilah yang biasanya disebut sebagai respons fight-or-flight. Apa pun situasinya, the exploder biasanya akan merespons seolah-olah ada krisis dan akan menjadi marah, menjadi paranoid, atau tiba-tiba memiliki dorongan biologis untuk menyerang di tengah-tengah percakapan.

The Imploder, tidak sejelas exploder, seseorang yang memiliki stress language ini sering menginternalisasi stres mereka dan bisa menjadi putus asa, tidak berdaya, dan lumpuh. Mereka biasanya cenderung memiliki banyak kesalahan pada diri sendiri dengan bahasa sehari-hari yang penuh tekanan.

Selain itu, mereka juga mungkin mengalami kesulitan melakukan kontak mata dan merasa terlalu mati rasa untuk mengekspresikan emosi. Dengan demikian, pengaruhnya dapat diredam dan terasa jauh.

Mereka cenderung ingin bersembunyi dari dunia luar dan perilaku mereka sering kali disalahartikan sebagai mengabaikan atau ‘membayangi’ orang lain.

The Fixer, respons stres ini terkadang terlihat seperti respons yang membantu di permukaan. Namun, seiring berjalannya waktu, hal ini dapat berubah menjadi sikap mengomel, melampaui batas, dan tidak percaya pada kemampuan pasangan.

Biasanya the fixer akan segera bertindak dan mencoba memperbaiki sesuatu, apa pun ketika mereka stres—bahkan ketika tidak ada yang perlu diperbaiki atau apa yang perlu diperbaiki bukanlah urusan mereka.

Selain itu, mereka sering kali bertindak seperti orang tua daripada kekasih yang dapat merusak hubungan

The denier bisa menjadi pola perlindungan umum bagi seseorang yang telah diajari (biasanya di masa kanak-kanak) untuk percaya bahwa menunjukkan tanda-tanda stres adalah tanda kelemahan. Orang yang menyangkal bisa terlihat seperti seorang optimis yang buta terhadap kenyataan, seorang tabah yang menghindari semua emosi, atau seseorang yang menggunakan sikap positif untuk mengabaikan kesusahan.

Sering terdengar seorang penyangkal mengatakan, dengan bibir atas yang kaku, hal-hal seperti 'Segalanya bisa menjadi lebih buruk' atau 'Saya baik-baik saja.'

Sayangnya, orang yang sering menyangkal akan memendam perasaan dan emosinya hingga sering kali berubah menjadi seorang yang meledak-ledak.

Terakhir, ada the numb-er. Seseorang yang memilikinya sering menggunakan pelarian dan gangguan lainnya sebagai strategi penanggulangannya. Seseorang yang mati rasa akan beralih ke segala hal mulai dari alkohol atau obat-obatan, hingga game online, perjudian, belanja, menelusuri media sosial, atau menonton televisi secara berlebihan.

Bahkan perilaku yang tampak sehat pun bisa menjadi hal yang disukai banyak orang, seperti berolahraga berlebihan dan bekerja berlebihan.

Pahami stress language dan berdamailah …